Sebelum berwakaf, tidak ada salahnya mengetahui sejarah perkembangan wakaf umat Islam terlebih dahulu. Ada banyak kisah inspiratif di dalamnya.
Salah satu ladang pahala yang terus mengalir meskipun jasad sudah tertimbun tanah adalah wakaf. Sejarah perkembangan wakaf dari masa ke masa dapat menjadi pengetahuan bagus, karena dapat dijadikan sebagai motivasi untuk berburu pahala dengan cara berwakaf.
Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf sudah dikenal sejak masa kepemimpinan Rasulullah SAW. Hal tersebut dikarenakan wakaf baru disyariatkan setelah Rasulullah SAW berada di Madinah, pada tahun kedua Hijiryah. Bagaimana sejarahnya? Simak informasi berikut:
Apa itu Wakaf?
Wakaf sebenarnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘Waqafa’ yang memiliki beberapa pengertian. Arti kata dari istilah bahasa Arab tersebut adalah ‘menahan’ atau ‘berhenti’, kemudian ‘diam di tempat’ atau ‘tetap berdiri’.
Sedangkan menurut ilmu fiqih Islam, wakaf adalah hak pripadi yang dipindahkan menjadi kepemilikan secara umum atau juga bisa lembaga, yang kemudian dimanfaatkan sebagaimana mestinya hingga mampu dinikmati masyarakat.
Namun, para ahli fiqih memiliki pendapat masing-masing tentang wakaf dan beberapa di antaranya mendefinisikan wakaf berbeda dari lainnya. Pasalnya, mereka memiliki pandangan tersendiri tentang hakikat wakaf dan berikut ini pendapatnya:
-
Abu Hanifah
Abu Hanifah memiliki pendapat tentang definisi wakaf, yakni menahan suatu benda yang menurut hukum tetap wakif dengan tujuan dipergunakan manfaatnya guna kebajikan. Dari pendapat Abu Hanifah, maka kepemilikan harta wakaf tentu tidak lepas dari si wakif.
Dengan demikian, seorang wakif berhak menariknya kembali dan boleh diperjualbelikan. Sedangkan jika wakif meninggal, maka harta yang diwakafkan tersebut akan menjadi harta warisan untuk ahli warisnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang timbul dari prosesi wakaf hanyalah ‘menyumbangkan manfaat’. Maka dari itu, dalam mazhab Abu Hanifah wakaf adalah:
“Tidak melakukan sesuatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”
-
Mazhab Maliki
Berbeda dari mazhab Abu Hanifah, menurut mazhab Maliki wakaf tidak melepaskan harta wakaf dari si pemiliknya, yakni wakif. Akan tetapi, wakaf tersebut mencegah si pemilik alias wakif melakukan tindakan yang bisa melepas kepemilikannya atas harta tersebut kepada orang lain.
Wakaf juga memiliki kewajiban, yakni menyedekahkan manfaat dari wakaf atau hartanya untuk digunakan oleh penerima wakaf alias mustahiq, walaupun harta tersebut berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat dimanfaatkan, misalnya dalam bentuk uang.
Dalam mazhab Maliki, wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf yakni untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Hal tersebut juga berarti bahwa pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan, tetapi pemanfaatan hasilnya diperbolehkan asalkan untuk tujuan kebaikan.
Tujuan kebaikan yang dimaksud adalah memberikan manfaat benda secara wajar, meskipun harta tersebut masih menjadi milik si wakif. Perwakafan berlaku untuk suatu masa tertentu, pasalnya wakaf tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal yang berlaku selamanya.
-
Mazhab Syafi’I dan Ahmad bin Hambal
Menurut mazhab Syafi’I dan Ahmad, wakaf merupakan prosesi melepaskan harta yang diwakafkan dari seorang pemilik atau kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafannya.
Terdapat larangan bagi seorang wakif terhadap harta yang diwakafkan, yakni perlakukan pemilik dengan memberikan kepemilikannya kepada orang lain, baik dengan cara bertukar ataupun tidak.
Dengan demikian, secara otomatis harta yang diwakafkan tidak boleh diwariskan kepada ahli warisnya. Selain itu, wakaf yang disalurkan tersebut dianggap sebagai sedekah mengikat, yang mana wakif tidak bisa memberikan larangan terkait penyaluran sumbangan tersebut nantinya seperti apa.
Apabila seorang wakif melarangnya, maka seorang qadli memiliki hak untuk memaksa agar memberikannya kepada penerima wakaf. Dengan demikian, mazhab Syafi’I mengartikan wakaf sebagai berikut:
“Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”
-
Mazhab Lain
Ada pula definisi wakaf menurut mazhab lain yang hampir sama dengan definisi ketiga, namun ada yang berbeda. Nah, hal yang membedakan kedua definisi tersebut adalah dari segi kepemilikan atas harta atau benda yang diwakafkan.
Pasalnya, harta yang diwakafkan nantinya akan berubah kepemilikan menjadi milik mauquf’alaih yakni orang yang diberi wakaf. Namun, penerima wakaf tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda tersebut, baik dengan cara menjual maupun menghibahkannya.
Siapa yang Pertama Kali Berwakaf?
Dalam sejarah perkembangan wakaf, tentu saja ada seseorang yang mengawali prosesi ini untuk pertama kalinya. Lantas, siapa yang pertama kali berwakaf?
1. Nabi Muhammad SAW
Menurut sebagian besar ulama dalam sejarah perkembangan wakaf, insan yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Nabi Muhammad SAW, yakni mewakafkan sebidang tanah yang digunakan untuk membangun sebuah masjid.
Pendapat ini tentu saja memiliki dasar, yakni hadist yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, kemudian hadist tersebut diriwayatkan dari Umar bin Syabah dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata:
“Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang- orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.”
Rasulullah SAW tidak hanya mewakafkan sebidang tanah, tetapi sebanyak tujuh kebun kurma di Madinah juga beliau wakafkan. Adapun tujuh kebun kurma tersebut adalah:
- Kebun A’araf Shafiyah
- Kebun Dalal
- Kebun Barqah
- Dll.
Selain kebun tersebut, Rasulullah SAW juga mewakafkan lahan perkebunan Mukhairik yang telah menjadi miliknya, setelah sang pemilik terdahulu terbunuh dalam Perang Uhud. Tak lupa, beliau menyisihkan sebagian keuntungan dari perkebunan Mukhairik guna memberi nafkah keluarganya selama satu tahun.
Sedangkan sisa keuntungannya dibelikan kuda perang, kemudian senjata, dan digunakan untuk kepentingan kaum muslimin. Mayoritas ahli fikih menyatakan bahwasannya peristiwa-peristiwa tersebut dianggap sebagai wakaf di masa Rasulullah SAW.
2. Sayyidina Umar
Namun, ada pula pendapat lainnya dari sebagian ulama, yakni orang yang pertama kali melakukan wakaf adalah Sayyidina Umar. Hal tersebut didapatkan berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
Beliau berkata, bahwa sahabat Umar RA telah memperoleh sebidang tanah hasil rampasan perang Khaibar, yakni tanah yang subur milik Yahudi. Setelahnya, Umar menghadap kepada Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk terkait harta miliknya tersebut.
“Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW pun bersabda:
“Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.”
Setelah itu, Umar pun menyedekahkan hasil pengelolaan tanah Khaibar kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti orang fakir, kemudian kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah ibnu sabil, dan juga para tamu.
Selain itu, beliau tidak memberikan larangan kepada nazhir atau orang yang mengelola wakaf untuk makan dari hasil lahan Khaibar miliknya dengan cara yang baik dan sepantasnya atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud untuk menumpuk harta.
Perkembangan Wakaf di Era Rasulullah SAW
Dalam sejarah perkembangan wakaf, hal tersebut sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW, pasalnya wakaf telah disyariatkan setelah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Rasulullah SAW pertama kali mewakafkan sebidang tanah dan dipergunakan untuk membangun sebuah masjid guna tempat ibadah umat Islam.
Tak berhenti di situ saja, Rasulullah SAW kemudian melakukan wakaf yang kedua pada tahun ketiga Hijriyah. Seperti yang disinggung sebelumnya, Nabi Muhammad SAW mewakafkan sejumlah tujuh kebun kurma di Madinah.
Sejarah perkembangan wakaf dari masa ke masa mengalami peningkatan, hingga seluruh umat Islam mendapatkan manfaatnya. Tak berhenti pada Rasulullah SAW saja, wakaf juga dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad yang dermawan, kemudian juga dilakukan oleh umat Islam berada lainnya.
Perkembangan Wakaf di Masa Para Sahabat
1. Wakaf Kebun Khaibar Umar bin Khattab
Menurut sejarah perkembangan wakaf, sahabat Rasulullah SAW yang pertama kali mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW untuk berwakaf adalah Umar bin Khattab. Padahal dulunya beliau adalah orang yang sangat membenci Rasulullah SAW, bahkan hendak berniat untuk membunuhnya.
Namun, ketika dua kalimat syahadat Umar ucapkan dengan lantang untuk memeluk Islam, ketika itulah ia berubah menjadi sahabat Nabi Muhammad yang sangat mencintai Islam dan selalu menjadi garda depan untuk melindungi Rasulullah SAW.
Setelah mendapatkan bagian tanah Khaibar hasil rampasan perang dengan kaum Yahudi, Umar bin Khattab langsung menghadap kepada Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Beliau meminta petunjuk terkait tanah subur yang dibagikan kepadanya, yang merupakan salah satu harta paling disukai.
Rasulullah SAW pun memberikan petunjuk agar Umar bin Khattab mewakafkan tanah tersebut untuk kepentingan umat muslim. Umar pun langsung setuju dan mencatat wakafnya dalam akta wakaf ketika beliau masih berstatus sebagai khalifah serta hal tersebut disaksikan oleh para saksi.
2. Wakaf Kebun Abu Thalhah
Tak hanya Umar bin Khattab saja yang mengikuti jejak Rasulullah SAW untuk berwakaf, tetapi juga Abu Thalhah yang merupakan seorang mualaf. Beliau mewakafkan salah satu harta kesayangannya, yakni kebun kurma Bairuha yang sangat subur.
Bahkan ini adalah tempat favorit Rasulullah SAW ketika ingin memakan kurma dan minum dari sumber air segar serta jernih di kawasan kebun tersebut. Abu Thalhah mewakafkan kebun kurmanya setelah Allah SWT menurunkan firman dalam surat Ali Imran ayat 92, yang berbunyi:
““Kamu sekali–kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Ketika mendengar firman Allah SWT tersebut, Abu Thalhah melangkahkan kakinya dengan pasti untuk mendatangi Rasulullah untuk menyampaikan ayat tersebut. Tak hanya itu saja, beliau juga menyampaikan niatnya untuk mewakafkan kebun kurma kesayangannya.
Abu Thalhah telah mengikhlaskan kebun kurma tersebut untuk diwakafkan dan dimanfaatkan oleh seluruh umat Islam, demi kesejahteraan semuanya. Setelah mendengar niat baik dari sahabatnya itu, Rasulullah SAW menyambut dengan sangat gembira dan penuh suka cita, hingga segera menguasakan teknis pembagian wakafnya. Beliau bersabda:
“Inilah harta yang diberkahi. Aku telah mendengar apa yang kau ucapkan dan aku menerimanya. Aku kembalikan lagi kepadamu dan berikanlah ia kepada kerabat–kerabat terdekatmu”
3. Wakaf Tanah Nabi dan Abu Bakar As-Shidiq
Dalam sejarah perkembangan wakaf, Rasulullah SAW pernah mendapatkan hibah yakni berubah tanah. Nah, tanah yang dihibahkan kepada beliau tersebut adalah milik dua anak yatim yang berasal dari Bani Najjar.
Akan tetapi, sang Nabi SAW menolak hal tersebut dan akhirnya memutuskan untuk membeli tanah dengan harga 10 dinar, kemudian yang membayar tanah tersebut adalah Abu Bakar As-Shidiq.
Rasulullah SAW dan Abu Bakar tidak sedikit pun tergiur dengan harta duniawi, karena di dalam pikiran mereka adalah bagaimana harta tersebut bisa menjadi penyelamat ketika sudah di akhirat nanti.
Setelah membeli tanah milik dua anak yatim dari Bani Nijjar tersebut, akhirnya Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar As-Shiddiq pun mewakafkannya untuk kesejahteraan umat Islam.
4. Wakaf Sumur Utsman bin Affan
Ustman bin Affan salah satu sahabat Rasulullah SAW juga memiliki kisah sendiri terkait sejarah perkembangan wakaf, bahkan wakaf beliau hingga saat ini masih ada dan dipergunakan untuk kesejahteraan umat Islam. Hal yang diwakafkan oleh Utsman adalah sumur Raumah yang bergelimang air jernih dan segar.
Mulanya, sumur tersebut bukanlah milik Utsman melainkan milik seorang Yahudi. Namun, ketika kemarau panjang dan umat muslim di Madinah merasa kehausan, bahkan untuk minum harus membeli dan antre di sumur Raumah tersebut, akhirnya Utsman membeli sumur tersebut.
Awalnya, sumur tersebut hanya dibeli setengah saja dan digunakan secara bergantian, namun karena merasa bisnis sumur sepi, pemilik sumur tersebut akhirnya menjual seluruh sumur kepada Utsman.
Sumur Raumah yang sudah beralih kepemilikan akhirnya diwakafkan untuk seluruh masyarakat di Madinah, bahkan digunakan pula untuk mengairi perkebunan kurma di sekitarnya. Dengan demikian, tidak heran jika kebun kurma menjadi sangat subur hingga hasil panennya sangat banyak.
Karena hadirnya sumur Raumah, akhirnya kebun kurma di sekitarnya cepat meluas dan bahkan bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Keuntungan dari hasil kebun sebagian digunakan untuk kepentingan rakyat, dan sebagian disimpan di rekening bank atas nama Utsman bin Affan.
Sejarah Perkembangan Wakaf di Indonesia
Sejarah perkembangan wakaf di Nusantara telah dimulai sejak Islam pertama kali masuk ke negara ini. Ketika masuk ke Indonesia, lembaga wakaf sudah menjadi sumber utama penunjang kesejahteraan umat Islam.
Wakaf terus berkembang dan diterima sebagai salah satu sumber penghasilan finansial penting, demi membangun masyarakat Indonesia dari segala aspek.
-
Pemerintahan Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda perwakafan diatur oleh pemerintahan melalui sekretaris gubernur yang mengeluarkan surat edaran No. 435 tentang Toezicht op den houw van Muhammedaansche bedehuizen.
Surat edaran yang mengatur tentang perwakafan di wilayah Jawa dan Madura kecuali Swapraja ini digunakan sebagai aturan perwakafan tanah, baik masjid maupun rumah-rumah ibadah lainnya.
Setelah itu, keluar lagi surat edaran baru pada tahun 1931 Surat Edaran No. 1361/A, yang termuat dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizich van de Regeering of Muhammedan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en Wakaf, yang mana wajaf harta perlu izin dari bupati.
-
Masa Kemerdekaan
Setelah berhasil memerdekaan diri dari penjajahan, peraturan wakaf diambil alih oleh kementerian Agama. Satu per satu peraturan muncul bertujuan untuk mewujudkan ketertiban atas harta wakaf, baik dari segi hukum maupun administrasinya agar lembaga perwakafan dapat berjalan maksimal.
-
Masa Reformasi
Di masa reformasi peraturan wakaf yang dibuat pada masa kemerdekaan dianggap belum cukup, pasalnya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga wakaf identik dengan masjid, kuburan, dan madrasah saja.
Dengan demikian, pengelolaan wakaf di Indonesia mengalami perkembangan dan stagnasi. Berdasarkan permasalahan tersebut, pemerintah bersama DPR Indonesia menetapkan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan UU lainnya.
Wakaf Menjadi Instrumen Untuk Kesejahteraan
Wakaf adalah salah satu hal yang mampu menjadi instrumen untuk kesejahteraan rakyat, sehingga seluruh lapisan masyarakat bisa menikmati manfaatnya. Bahkan pernyataan ini juga disampaikan oleh wakil presiden Indonesia, yakni KH. Ma’ruf Amin.
Menurutnya, wakaf merupakan potensi besar yang belum tergali, pasalnya penggunaan wakaf selama ini hanya contoh untuk bantuan sosial saja. Dengan demikian, untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bagi yang ingin berwakaf sangat disilahkan dan bisa memilih wakaf jenis apapun, misalnya wakaf produktif.
Wakaf produktif merupakan wakaf yang dihasilkan dari sebuah keuntungan, misalnya saja wakaf perkebunan, nah yang dibagikan untuk kesejahteraan. Dengan demikian, setiap panen keuntungan akan diwakafkan sehingga disebut sebagai wakaf produktif.
Wakaf produktif bisa dilakukan bersama lembaga terpercaya, misalnya saja Yayasan Yatim Mandiri. Ada berbagai macam wakaf yang dapat dilakukan di sana dan pastinya proses sangat mudah. Jika berminat, kunjungi langsung https://yatimmandiri.org/program/wakaf.