Hukum Menggunakan Tanah Wakaf untuk Kepentingan Pribadi

Jawaban lengkap dan jelas untuk pertanyaan apakah tanah wakaf boleh dijual atau digunakan untuk kepentingan pribadi?


Tanah merupakan jenis benda tidak bergerak yang dapat dijadikan sebagai harta wakaf. Terdapat aturan dalam syariat Islam mengenai penggunaan tanah wakaf yang wajib dipatuhi oleh pewakaf, nadzir maupun orang yang menerima wakaf tersebut.

Aset pribadi berupa tanah yang sudah diwakafkan merupana infak yang secara ikhlas diberikan demi kepentingan orang banyak tanpa mendapatkan imbalan berupa uang. Sebab, si pewakaf dijanjikan hal yang lebih besar secara langsung oleh Allah yakni pahala amal jariyah.

Apa Itu Tanah Wakaf?

Dalam ajaran Islam, jenis harta yang dapat diwakafkan yakni harta benda yang bergerak, harta benda tidak bergerak dan harta benda yang berupa uang. Apabila seorang muslim memiliki tanah yang berlebih, maka sangat dianjurkan untuk mewakafkan harta tersebut agar lebih berkah dan bermanfaat.

Adapun yang dimaksud dengan tanah wakaf adalah aset milik pribadi yang diserahkan manfaatnya untuk kepentingan masyarakat dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap pahala yang tidak terputus walaupun sudah meninggal dunia.

Wakaf memang termasuk sedekah jariyah yang memiliki banyak hikmah dan manfaat. Hikmah yang dimaksud merupakan manfaat yang dirasakan oleh pewakaf, misalnya mendapatkan ganjaran berlimpah, jauh dari sifat sombong serta serakah dan lebih peka terhadap lingkungan sekitar.

Sedangkan manfaat mewakafkan tanah dapat dirasakan oleh banyak orang sehingga memudahkan urusan dan meningkatkan kesejahteraan bersama.  

Baca Juga : 9 Jenis Wakaf dan Perbedaan Sesuai Dengan Peruntukannya

Hukum Menggunakan Tanah Wakaf untuk Kepentingan Pribadi

sumber gambar : istock

Terkadang, pewakaf masih menganggap bahwa dirinya berhak untuk menggunakan tanah yang sudah diwakafkan semau dia sendiri karena memang kepunyaannya. Namun, banyak yang lupa bahwa substansi dari wakaf yaitu mengambil manfaat harta wakaf untuk kepentingan umat secara luas.

Apabila tanah wakaf digunakan untuk kepentingan pribadi, maka hukumnya tidak boleh. Sebab, hal tersebut menyalahi substansi dasar dari amalan wakaf yang sesuai dengan ajaran Islam. Tanah yang diwakafkan hanya boleh dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama, bukan pribadi.

Misalnya, masih terdapat area kosong di tanah yang telah dibangun masjid, maka area tersebut boleh digunakan sebagai kebun, asalkan hasilnya untuk kepentingan masjid atau masyarakat luas. Area kosong tersebut juga boleh dipakai untuk hal lain, contohnya tempat menyembelih hewan kurban.

Jika seorang pewakaf masih menggunakan tanah wakaf untuk keperluan pribadi, maka amalan tersebut belum dianggap wakaf. Sebab, pewakaf merupakan orang yang berikrar untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan pribadi.

Allah bahkan menegaskan dalam surat Ali Imran ayat 92 mengenai keutamaan orang yang menyerahkan harta yang dicintai di jalan Allah:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.

Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa sedekah yang salah satunya adalah wakaf merupakan amalan yang membawa seseorang meraih kebajikan yang sempurna. Harta yang diwakafkan tentu jenis harta yang bernilai, bukan harta yang sudah rusak dan tidak berharga lagi.

Jadi, tidaklah elok apabila tetap menggunakan harta yang sudah dijadikan tanah wakaf untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Padahal, pewakaf sudah dijanjikan ganjaran yang lebih mulia dan langgeng sebagai bekal akhirat.

Apa Saja Syarat Agar Tanah Bisa Diwakafkan?

Pada dasarnya, harta yang disedekahkan haruslah harta yang keadaannya baik dan bernilai, bukan harta yang buruk yang pemilik pun bahkan tidak mau menggunakannya. Perlu diingat bahwa menyedekahkan harta yang dicintai akan mendatangkan pahala yang tidak terhitung jumlahnya.

Lalu, bagaimana jika ingin mewakafkan aset berupa tanah? Syarat tanah wakaf yang wajib dipenuhi oleh pewakaf, antara lain:

  1. Tanah yang diwakafkan merupakan aset milik pribadi pewakaf secara sah, bukan aset bersama atau aset yang kepemilikannya tidak jelas.
  2. Tanah boleh sudah didaftarkan sesuai ketentuan undang-undang atau belum. Namun, sangat dianjurkan untuk mendaftarkan tanah terlebih dahulu untuk menguatkan hak milik.
  3. Tanah yang diwakafkan harus dalam kondisi yang baik dan layak untuk diambil  manfaatnya demi kepentingan umat.

Orang yang akan mewakafkan aset tanahnya, tidak lantas menyerahkan begitu saja tanpa ada ikrar yang disaksikan oleh orang lain. Kedudukan ikrar sangat penting karena menunjukkan kesungguhan pewakaf yang kemudian dituangkan dalam sebuah akta sesuai ketentuan UU Nomor 41 Tahun 2004.

Baca Juga : Pengertian Wakaf : Syarat, Rukun, Jenis dan Dasar Hukumnya

Berikut alur untuk membuat akta tanah wakaf agar mendapatkan perlindungan hukum dan sah sesuai ajaran Islam:

  1. Pewakaf mendatangi PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dengan membawa persyaratan sebagai berikut:
  • Sertifikat hak milik tanah yang akan diwakafkan.
  • Surat keterangan bahwa tanah telah terdaftar.
  • Surat keterangan dari kepala desa yang isinya membenarkan bahwa tanah tersebut milik pewakaf dan tidak terlibat dalam sengketa.
  • Fotokopi KTP dan KK.
  1. Setelah itu, PPAIW akan melakukan verifikasi dokumen persyaratan yang dibawa oleh waqif. PPAIW juga memeriksa para saksi dan mengesahkan nadzir yang dipilih oleh pewakaf.
  2. Pewakaf berikrar secara jelas di hadapan para saksi dan PPAIW. Selain diucapkan, ikrar tersebut juga dituangkan dalam akta wakaf.
  3. Kemudian, PPAIW memulai pembuatan akta wakaf yang hartanya berupa tanah. Akta tersebut dibuat dalam beberapa lembar untuk dibagikan kepada pihak yang berkepentingan, mulai dari waqif, nadzir, PPAIW, pengadilan agama, kantor agrarian, kepala desa dan kantor departemen agama.

Baca Juga : 4 Alasan Kenapa Harus Wakaf, Amal Jariyah Pahala Mengalir

Tanah Wakaf Dijual? Bagaimana Hukumnya?

sumber gambar : istock

Jika tanah yang diwakafkan tidak boleh digunakan secara pribadi, lalu bagaimana jika dijual? Jawabannya, tidak boleh. Para ulama telah menyepakati bahwa hukum menjual tanah wakaf dilarang dalam Islam yang didasarkan pada perkataan Rasulullah kepada sahabat beliau.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, diceritakan bahwa Rasulullah memerintahkan Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanah yang ia miliki tanpa menjual maupun mewariskannya. Hadist tersebut sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : أَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ أَصَابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ؟ قَالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ، أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوْهَبُ وَلَا يُوْرَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ، وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبِيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ .

Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan) bahwasanya Umar r.a. pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasihat mengenai tanah itu, seraya berkata, ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengannya? Nabi saw pun bersabda, jika engkau berkenan, tahanlah pokoknya, dan bersedekahlah dengan hasilnya. Ibnu Umar berkata, maka bersedekahlah Umar dengan hasilnya, dan pokoknya itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, ibnu sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang ma’ruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya. [HR. al-Bukhari No. 2737].

Pewakaf memang harus menahan harta tersebut untuk diuangkan karena hakikat wakaf yakni mengambil manfaat harta benda demi kesejahteraan umat. Jadi, tanah yang diwakafkan wajib digunakan sesuai tujuan wakif, bahkan nadzir dilarang mengubah kecuali diizinkan oleh Badan Wakaf.

Namun, para ulama menambahkan mengenai tanah wakaf yang sudah rusak dan kurang strategis sehingga manfaatnya menurun. Para ulama membagi objek wakaf yang sudah rusak menjadi beberapa kategori, antara lain:

  1. Objek wakaf yang rusak tetapi masih ada bagian yang bisa dimanfaatkan, maka bagian tersebut boleh dijual agar uangnya digunakan untuk kepentingan umat;
  2. Objek wakaf yang tidak dapat diselamatkan lagi, misalnya hewan ternak yang mati;
  3. Objek wakaf yang hampir rusak sehingga harus segera dijual agar hasil penjualannya dapat dimanfaatkan;
  4. Objek wakaf yang boleh dipindahkan ke tempat lain jika sudah tidak terpakai di tempat semula;
  5. Objek wakaf yang sudah tidak layak dimanfaatkan sehingga perlu dijual untuk membangun objek baru yang lebih layak. Misalnya, mushola yang terlalu kecil dijual untuk membangun mushola yang kapasitasnya lebih besar.

Jadi, selama tanah yang diwakafkan masih bagus dan bernilai, maka wajib dimanfaatkan di jalan Allah sehingga tidak boleh diuangkan. Berbeda halnya jika tanah tersebut kondisinya sudah rusak sehingga kebermanfaatannya berkurang, maka perlu diambil langkah lain untuk mencegahnya menjadi sia-sia.

Tujuan besar dari wakaf yakni menggunakan manfaat dari harta benda untuk kepentingan umat yang sesuai ajaran Islam. Bagi yang ingin mendapatkan pahala amal jariyah, dapat mempercayakan tanah wakaf kepada Yayasan Yatim Mandiri, LAZNAS yang berkomitmen membantu kaum yatim dhuafa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top