Melayani Umat

Amil: Tak Sekedar Shalih, Tapi juga Mushlih

Seiring dengan mulai tumbuhnya kesadaran, literasi kian berkembang, dan besarnya potensi ziswaf di tanah air kita, menjadikan posisi Amil hari ini punya peran strategis bahkan sangat esensial bagi masyarakat muslim Indonesia. Sebagaimana syariat Islam telah mengajarkan, bahwa Amil memiliki tanggungjawab besar yakni melakukan penghimpunan, pengelolaan, dan pendayagunaan dana kebajikan berupa zakat, infak, hingga sedekah untuk kemudian diberikan kepada penerima manfaat yang membutuhkan.

Namun ironinya, tak banyak orang tertarik mengambil peran sebagai Amil. Kecuali mereka yang Allah Ta’ala pilih lalu dikaruniakan privilege berupa ghiroh dakwah di dunia sosial kemanusiaan serta punya visi besar ingin memberi kebermanfaatan secara konkrit agar suatu saat masyarakat bisa keluar dari bayang-bayang kemiskinan. Bukankah sejatinya kefakiran itu amat dekat dengan kekufuran?

Tentu ini adalah bagian dari hikmah adanya perintah zakat dalam Islam. Supaya kelak tak ada lagi umat muslim yang murtad karena enggan sabar menghadapi ujian kekurangan harta sendirian. Maka, disinilah bentuk dakwah bagi seorang Amil. Secara langsung, Amil juga turut mengambil peran untuk mengokohkan akidah kaum muslimin dengan menjadi fasilitator atau penghubung antara muzakki dan mustahik.

Sudah sepatutnya ketika siapapun memilih jalan hidup dan mendedikasikan diri menjadi seorang Amil, Ia harus punya kedekatan khusus dengan Rabb semesta alam. Sebab Amil yang shalih pasti akan menyadari betul bahwa Ia tak mampu menjalani tugas berat ini seorang diri.

Ia akan selalu merasa butuh petunjuk dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di setiap hela nafas, detak jantung, dan langkah kakinya membersamai muzakki juga para mustahik di lapangan. Namun sekedar menjadi pribadi shalih saja tidak cukup, Amil juga harus punya semangat lebih untuk “menshalehkan” orang-orang yang ada disekitarnya. Mengajak agar mereka lebih kenal dekat dengan Allah Ta’ala melalui instrumen zakat, infak, dan sedekah. Karakter ini menurut Imam Ghazali disebut dengan mushlih.

Terlebih seorang Amil yang diberi amanah mengisi peran di bidang penghimpunan dana. Hal yang bisa diikhtiarkan secara optimal hanya sampai pada mengajak saudara seiman supaya mau mengalokasikan harta terbaiknya untuk didermakan.

Tak boleh ada unsur paksaan didalamnya. Soal berkenan atau tidaknya giliran Allah Ta’ala yang menjalankan peran. Hanya Dia Dzat yang mampu menggerakkan hati manusia supaya ikhlas menjemput peluang untuk beramal shalih. Oleh karena itu, selain strategi funding yang sifatnya teknis ada nilai yang jauh lebih penting dan mindset yang perlu dibangun pada diri seorang Amil atau fundraiser. Ialah bagian dari konsep ketauhidan, yakni tawakkal kepada Rabbul ‘alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *