Musaqah adalah sistem perjanjian kerjasama berbasis agama Islam yang biasa diterapkan dalam agrobisnis. Simak lengkapnya disini!
Musaqah adalah istilah yang sering digunakan dalam usaha agrobisnis maupun usaha individu berbasis agama.
Musaqah dapat dipahami sebagai kolaborasi yang dilakukan oleh seorang pemilik tanah atau tanaman dengan perawat tanaman.
Dalam sistem ini, pemilik tanah atau tanaman berarti memberikan hak kepada perawat untuk merawat dan mengelola tanaman tersebut.
Setiap perawat yang bertugas akan diberi imbalan berupa sebagian hasil panen.
Kolaborasi ini tidak hanya menguntungkan kedua belah pihak, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kerja sama sebagaimana yang dianjurkan dalam Islam, yakni jujur dan adil.
Melalui musaqah, pemilik tanaman dapat bertanggung jawab terhadap apa yang dimiliki, karena tidak membiarkannya terlantar.
Apa itu Musaqah?
Secara leksikal, musaqah berasal dari kata al-saqa, yang mengandung arti seseorang yang bekerja untuk merawat atau mengurus perkebunan kurma, pohon taman, anggur, dan berbagai pohon lain untuk mendapatkan kemanfaatan.
Kemanfaatan yang dimaksud dalam sistem ini adalah kemanfaatan dari Allah atas apa yang dirawatnya. Selain itu, musaqah juga berhak atas sebagian buah dari pohon atau tanaman yang dirawatnya sebagai imbalan.
Tanaman dalam kerjasama ini mengacu pada tanaman (pohon) yang dapat berbuah dan tanaman tua.
Sementara, perawatan yang dimaksud adalah merawat, mengairi, menyiangi, dan usaha lain yang berkaitan dengan mengurus atau merawat, sehingga tanaman tidak ditelantarkan.
Menurut Imam Syafi’i, tanaman yang digarap pada kerjasama musaqah adalah tanaman kurma dan pohon anggur yang dapat dipetik hasil atau buahnya.
Dalam hadist yang diriwayatkan, kedua tanaman tersebut dirawat dengan cara merawat dan mengairinya kemudian dibagi hasil.
Akad Musaqah
Berdasarkan hukum Islam, setiap kerjasama harus dilandasi dengan akad yang jelas. Akad merupakan perjanjian diantara kedua belah pihak dan harus disetujui antara keduanya.
Dalam hal kerjasama ini, musaqah dapat menjadi shahih dan fasid.
Sahih
Musaqah akan menjadi sahih apabila memenuhi syarat dan rukun yang ada di dalamnya. Salah satu syarat maupun rukun yang tidak terpenuhi, akan membuat akad musaqah berubah. Hukum-hukum yang dapat menjadikan akad musaqah sahih mencakup 5 hal.
- Seluruh pengerjaan berkaitan dengan perawatan adalah tanggung jawab petani yang menggarap tanaman atau tanah.
- Seluruh hasil panen menjadi hak pemilik dan petani.
- Apabila kebun gagal panen, keduanya tidak akan mendapatkan apapun.
- Akad atau perjanjian dalam musaqah mengikat pemilik dan petani. Oleh karena itu keduanya tidak boleh membatalkan perjanjian, kecuali ada halangan yang tidak memungkinkan salah satu pihak melanjutkan perjanjian yang telah disepakati.
- Petani tidak boleh melakukan perjanjian lain dengan pemilik kebun lainnya, kecuali mendapat izin dari pemilik kebun pertama.
Fasid
Apabila salah satu syarat dan rukun musaqah tidak dapat terpenuhi, maka akad musaqah tergolog fasid.
Secara leksikal, fasid adalah perbuatan yang telah rusak. Berbeda dengan akad musaqah sahih, hukum-hukum musaqah fasid mencakup 6 hal.
- Semua hasil dari perkebunan disyarakatkan menjadi hak milik salah satu diantara yang berakad, yakni petani atau pemilik.
- Terdapat jumlah tertentu dari hasil perkebunan yang disyaratkan untuk salah satu pihak.
- Disyaratkan bagi pemilik kebun juga turut serta bekerja di perkebunan.
- Mencangkul tanah adalah kewajiban petani yang menggarap tanah atau perkebunan tersebut.
- Seluruh pekerjaan yang tidak menjadi kewajiban atau tanggung jawab petani dan pemilik harus ditentukan dan ditetapkan bersama
- Menyepakati tenggang waktu untuk memanen hasil perkebunan.
Syarat Musaqah
Syarat musaqah adalah salah satu hal yang harus dipenuhi untuk mencapai kesepakatan diantara kedua belah pihak.
Secara keseluruhan, poin-poin utama dalam syarat musaqah berdasarkan pandangan ulama fiqh itu sama. Namun, berbeda dalam perinciannya.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa musaqah memiliki 5 syarat, yakni shigat (ucapan perjanjian), al-‘aqidani (2 orang yang berakad), tanah atau tanaman yang akan dirawat, masa kerja, dan buah atau hasil dari perkebunan.
Rukun Musaqah
Untuk dapat melakukan perjanjian sah mengikuti sistem musaqah dalam Islam, kedua belah pihak juga harus mengetahui rukun-rukun musaqah yang harus dipenuhi. Dengan begitu, hal ini dapat menentukan apakah akad musaqah sahih atau fasad.
1. Akad
Dalam Islam, setiap perbuatan yang akan dilakukan harus memiliki akad. Akad dalam musaqah dapat dikerjakan secara jelas atau terang-terangan (sharih) dan samar-sama (kinayah).
Akad tidak hanya dilafadzkan oleh pemilik kebun saja, tetapi juga pihak yang bersedia merawat perkebunan.
Dengan begitu, menjadi jelas dan diketahui oleh kedua belah pihak bahwa pemilik perkebunan menyerahkan kebunnya kepada petani untuk dirawat.
Sementara petani menyetujui dan menyanggupi perawatan tersebut dengan berbagai syarat yang telah disebutkan sebelumnya.
2. Dua Orang yang Melakukan Akad
Selain itu, sistem musaqah juga mensyaratkan bahwa kerjasama ini harus terdiri dari dua orang yang berakad, yakni pemilik kebun dan petani yang menyanggupi untuk menggarap.
Kedua orang yang berakad disyaratkan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Ketentuan-ketentuan untuk pemilik dan petani itu adalah orang yang sudah akil balig, memiliki akal, dan tidak terikat dengan janji atau akad musaqah lainnya.
Apabila petani terikat dengan pemilik kebun lain, maka harus memberitahu pemilik kebun kedua, begitu juga sebaliknya.
3. Bidang Garap atau Pekerjaan
Bidang garap atau pekerjaan yang disebutkan dalam musaqah adalah tanah atau tanaman yang akan dirawat dan sudah diserahkan sepenuhnya kepada petani ketika akad.
Petani menjalankan pekerjaannya sebagaimana perjanjian di awal tanpa campur tangan pemilik perkebunan atau tanah.
Bidang pekerjaan di mana petani bertanggung jawab untuk merawat dapat menentukan apakah akad musaqah sahih atau fasid.
Akad akan rusak apabila kedua belah pihak mensyaratkan pemilik perkebunan untuk turut mengelola dan merawatnya.
4. Objek Akad
Rukun musaqah juga mencakup objek akad atau objek musaqah. Objek yang dimaksud dalam hal ini adalah tanah atau peopohonan yang akan digarap oleh petani.
Berkaitan dengan objek musaqah, para ulama memiliki perbedaan pendapat untuk menentukan objek perjanjian ini.
Menurut ahli fiqh Imam Maliki, pepohonan yang tumbuh di atas tanah dikategorikan menjadi 5, yakni pohon dengan akar tetap berbuah, pohon dengan akar tetap tidak berbuah, pohon tidak berakar tetap berbuah, pohon tidak berakar tetap dan tidak berbuah, dan pohon yang bisa diambil manfaatnya.
Sementara, ahli fiqh Imam Syafi’i mengatakan bahwa objek dari rukun musaqah adalah pohon anggur dan kurma saja.
Kedua pandangan ini dapat dipercaya sebagai acuan untuk melangsungkan akad musaqah.
5. Buah atau Atsmir
Dalam sistem kerjasama seperti musaqah, buah mengacu pada hasil perkebunan yang dirawat petani dan dimiliki pemilik kebun.
Rukun musaqah ini menjelaskan bahwa dalam akad harus ada kesepakatan pembagian untuk kedua belah pihak, seperti 10%, 25%, 50%, atau dengan takaran lain.
Beberapa ulama juga memberikan penjelasan secara rinci berkenaan dengan pengaturan hasil produksi dalam rukun musaqah.
Pertama, pemilik perkebunan dan petani memiliki hak atas hasil produksi atau hasil panen. Kedua, bagian untuk setiap pihak harus disepakati kadar hitungannya.
Ketiga, kerjasama yang dibangun antara pemilik kebun dan petani harus dilandasi dengan sifat syuyu’, yakni gotong royong terkait hasil panen.
Jadi setelah panen, petani bisa langsung mendapatkan bagiannya sesuai takaran yang telah disepakati. Akad seperti ini termasuk jenis fasad.
Musaqah adalah perjanjian kerjasama untuk mengelola perkebunan dengan mengacu pada hukum- hukum agama Islam.
Kunjungi blog Yatim Mandiri untuk informasi lebih lanjut. Temukan wawasan berbasis agama yang membahas topik-topik seputar agrobisnis hingga ekonomi syariah.