Apa itu Mukharabah? Arti, Hukum, & Bedanya dengan Muzaraah

Mukharabah adalah sebuah akad dalam pengelolaan lahan yang dianjurkan dalam Islam. Bagaimana arti dan hukumnya? Temukan jawaban disini!

Pada zaman dulu hingga modern ini, mukharabah adalah hal yang wajib diterapkan, khususnya di sektor pertanian. 

Bertani menjadi salah satu usaha yang dapat memenuhi kebutuhan sehari–hari manusia. Bahkan sektor pertanian menjadi pondasi dasar dan tolak ukur kemajuan di beberapa negara.  

Kerjasama antar manusia sangat dibutuhkan dalam menjalankan pertanian. Namun tidak semua petani memiliki lahan sendiri maka dari itu para petani melakukan kerjasama dengan pemilik lahan.

Dan pembagian hasil pertanian antar kedua belah pihak yang diharapkan saling menguntungkan keduanya. 

Agama Islam memiliki prinsip dasar dalam sistem pembagian hasil keuntungan yang telah dipraktekkan sejak lama.

Secara umum prinsip bagi hasil dalam ekonomi syariah yaitu al musyarakah, al mudharabah, al muzara’ah dan al musaqah. Khusus pertanian, antara lain mukharabah dan muzara’ah

Apa itu Mukharabah?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa, mukharabah adalah kerjasama penggarap lahan antara pemilik lahan dengan petani penggarap dengan melakukan perjanjian bagi hasil, dimana pemilik lahan memberikan lahannya kepada penggarap agar dapat dikelola.

Arti mukharabah secara etimologi berasal dari kata “kharaja” yang artinya “hasil” sedangkan “barah” dengan arti “menanggung”.

Dapat diartikan secara sederhana mukharabah merupakan sistem bagi hasil di mana hasil panen ditanggung bersama. 

Jadi, kesimpulannya mukharabah adalah akad kerjasama yang dihasilkan antara pemilik lahan dan penggarap lahan dengan melakukan kesepakatan perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak, serta pembagian hasil panen sedangkan bibit tanaman dan biaya ditanggung penggarap lahan

Hukum Mukharabah

Mukharabah memilik dasar hukum kuat dengan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA dalam HR Muslim.

Dalam riwayatnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak menganut Muzaraah. Beliah bahkan menyuruh para pekerja lahan untuk diberikan upah bibit.

Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW diketahui telah memberikan kebun kepada para penduduk Khaibar.

Beliau membebaskan penduduk Khaibar unruk memelihara lahan. Dalam perjanjiannya, upah yang diberikan adalah sebagian penghasilan atau hasil lahan per tahun.

Di sisi lain, ulama Syafi’iyah menyebut bahwa hukum mukharabah ialah pengelolaan tanah di atas sesuatu yang telah dihasilkan benihnya dari pengelola.

Selanjutnya, muzara’ah sebenarnya juga sama seperti mukharabah. Hanya saja benih atau bibit lahan berasal dari pemilik tanah.

Rukun Mukharabah

Sistem kerjasama pembagian hasil dalam bentuk mukharabah adalah : hendaknya kedua belah pihak memiliki tujuan  yang sama.

Maka dari itu, akad atau perjanjian sangat penting baik secara formal dengan ucapan ijab dan qobul, maupun dengan cara lainnya yang menunjukkan kesepakatan.

Dalam memulai melaksanakan kerjasama sistem mukharabah haruslah diawali dengan perjanjian sehingga memenuhi rukun dan syarat.

Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dianggap batal. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui rukunnya.

1. Rukun Mukharabah Menurut Jumhur Fuqaha

Berdasarkan pendapat jumhur fuqaha, rukun dan syarat mukharabah adalah sebagai berikut:

  • Aqid: orang yang melakukan kesepakatan (jumlah lebih dari dua orang)
  • Ma’ud; objek yang disepakati atau diakadkan
  • Maudhu’al-aqad: tujuan pokok dari dilakukannya kesepakatan atau akad.
  • Shigat al-‘aqad: ijab dan qobul.

2. Rukun Mukharabah Ulama Hanafiah

Menurut ulama Hanafiah rukun mukharabah antara lain:

  • Akad: adanya ijab dan qobul antara pemilik lahan dengan penggarap lahan. 
  • Objek: dengan rincian antara lain tanah, modal, ketentuan bagi hasil harus diberikan sesuai dengan akad mukharabah
  • Peralatan untuk bercocok tanam 

3. Rukun Mukharabah Ulama Malikiah

Sementara itu menurut ulama Malikiah, muzaraah diwajibkan untuk menyediakan benih. Namun apabila mukharabah, maka benih disediakan oleh penggarap lahan. Menurut pendapat paling kuat perkongsian harta termasuk muzaraah ini wajib menggunakan sighat.

4. Rukun Mukharabah Berdasarkan Pendapat Jumhur Ulama

Pendapat lain tentang rukun mukharabah juga diberikan oleh jumhur ulama. Berdasarkan pendapat jumhur ulama rukun mukharabah diantaranya:

  • Pemilik lahan
  • Penggarap lahan
  • Objek: hasil kerja penggarap lahan dan manfaat lahan
  • Ijab penyerahan lahan agar dikelola oleh penggarap lahan.

Berdasarkan pendapat dari berbagai ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi rukun dari mukharabah antara lain :

  1. Pemilik lahan
  2. Penggarap lahan
  3. Objek mukharabah (lahan pertanian) 
  4. Adanya manfaat dan hasil kerja penggarap
  5. Akad (ijab dan qobul).

Perbedaan Mukharabah dan Muzaraah

Dari pembahasan di atas, sudah bisa dipastikan bahwa perbedaan antara muzara’ah dan mukharabah adalah terdapat pada segi permodalannya.

Saat pemilik lahan menyerahkan lahannya dan bibit tanamannya kecuali tenaga, disebut muzara’ah. 

Sedangkan mukharabah merupakan sebuah kondisi dimana sang pemilik lahan hanya menyerahkan lahannya tanpa bibit kepada penggarap.

Baca juga:   Apa itu Musaqah? Ini Pengertian, Syarat, Rukun, dan Akadnya

Contoh Mukharabah

Berikut contoh perjanjian mudharabah yang perlu diketahui semua orang bagi yang ingin melaksankannya,:

Pak Sandy memiliki lahan pertanian berupa sawah, namun karena usianya sudah tua, dia tak sanggup lagi untuk mengelola lahan pertanian.

Ia pun mencari buruh tani untuk bekerja sama mengelola sawah yang dimilikinya dengan sistem mukharabah.

Dalam akad tersebut, Pak Sandy sebagai pemilik lahan sawah hanya menyediakan lahan pertaniannya kepada buruh tani tersebut.

Sementara itu sang buruh tani tersebut menyediakan modal seperti, bibit, pupuk dan alat-alat pertanian serta tenaga dan keahlian untuk mengelola lahan sawah

Dalam pendapat ulama fikih, akad mukharabah adalah sesuatu yang disediakan oleh buruh tani (penggarap lahan sawah).

Kemudian, hasil panen dari sawah dibagi sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian di awal. Misalnya, penggarap lahan mendapatkan hasil panen 40% sedangkan pemilik lahan (Pak Sandy) mendapat 60% dari hasil panen tersebut.

Pada akhirnya, mukharabah adalah sebuah solusi praktis yang bisa saling menguntungkan baik pada pemilik dan penggarapnya.

Konsep ini kini telah banyak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan tentu saja hukumnya boleh, selama tidak ada usaha untuk mangkir dari akad perjanjian.

Sahabat ingin membaca lebih lanjut tentang akad perjanjian menurut hukum Islam? Semuanya sudah tersedia di artikel Blog Yatim Mandiri. 

Tunggu apalagi? Segera tingkatkan wawasan keislaman bersama Laznas Yatim Mandiri.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top