Apa saja hukum kurban untuk umat Islam? Berikut ini pembahasan hukum kurban lengkap dengan sejarah dan manfaatnya. Simak artikel ini sampai selesai agar ilmu yang Anda dapatkan tidak setengah-setengah.
Banyaknya keutamaan di dalam ibadah kurban sebaiknya ketahui juga bagaimana hukum kurban itu sendiri bagi umat Islam. Hukum dari ibadah kurban ini adalah sunnah muakad, tetapi ada beberapa hukum lainnya yang juga diakui oleh sejumlah ulama.
Allah memberi kesempatan pada umatnya untuk lebih mendekatkan diri padaNya dengan cara berkurban. Kurban juga menjadi bagian dari rasa syukur manusia pada Allah atas segala nikmat yang diberi olehNya.
Sejarah Kurban Nabi dan Para Sahabat
Menyembelih hewan kurban juga menjadi bentuk kepasrahan pada Allah dan simbol ketakwaan serta kecintaan padaNya. Untuk mendekatkan diri pada Allah maka manusia harus dapat mengharap ridhaNya.
Para nabi juga sudah diperintahkan berkurban mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Inilah sejarah kurban para nabi di zamannya yang perlu diketahui:
-
Kurban di Zaman Nabi Adam
Diawali dengan adanya perselisihan antara anak Nabi Adam dan Siti Hawa yang bernama Habil dan Qabil.
Habil lahir kembar dengan Labuda dan Qabil lahir kembar dengan Iqlima, kemudian sesuai perintah Allah Habil harus menikahi Iqlima dan Labuda harus menikah dengan Qabil. Sehingga mereka tidak boleh menikah dengan pasangan kembarnya.
Namun Qabil menolak hal itu karena ia beranggapan Iqlima lebih cantik dari Labuda. Perselisihan tersebut akhirnya ditengahi dengan perintah dari Allah, yaitu persembahan kurban dari Habil dan Qabil untuk syarat menikah.
Kurban siapa yang nantianya akan diterima oleh Allah maka ia berkah menentukan pasangan menikahnya.
-
Kurban Qabil yang Tidak Diterima oleh Allah
Saat itu Habil hidup sebagai seorang penggembala, lalu ia pun mempersiapkan domba jantan dan membawanya ke atas bukit. Sedangkan Qabil membawa hasil taninya yang paling jelek untuk dikurbankan.
Mereka berdua akhirnya menunggu, kurban siapa yang akan diterima oleh Allah. Tidak lama kemudian muncul api dari atas bukit kemudian melahap kurban kambing milik Habil sedangkan milik Qabil masih utuh.
Hal itu menunjukkan bahwa kurban Habillah yang diterima oleh Allah dan kurban Qabil tidak diterima. Dari cerita sejarah ini, dapat disimpulkan bahwa apa yang kita kurbankan pada Allah harus dengan niat untuk ibadah dan berharap ridha dari Allah.
-
Kurban di Zaman Nabi Ibrahim
Sejarah kurban pada zaman Nabi Ibrahim sudah banyak didengar, dan menjadi salah satu cerita awal kurban yang sebenarnya. Semuanya diawali dengan wahyu dari Allah untuk Nabi Ibrahim untuk mempersembahkan anaknya yaitu Nabi Ismail sebagai kurban.
Hal itu tentu menjadi hal yang lebih berat bagi Nabi Ibrahim yang sudah menunggu kehadiran buah hati sejak lama. Namun Nabi Ibrahmin tetap berprasangka baik pada Allah dan meyakini kebesaran Allah SWT.
Bahwa memang semua ini berasal dari Allah dan untuk kebaikan Nabi Ibrahim sendiri. Kemudian wahyu tersebut disampaikan kembali pada Nabi Ismail dan Nabi Ismail pun menerima perintah Allah dengan ikhlas.
Namun karena kebesaranNya, saat parang yang tajam akan menyembelih Nabi Ismail Allah menggantinya dengan seekor kambing yang besar.
-
Kurban di Zaman Nabi Muhammad
Syariat kurban terus berkembang, dari sejak zaman Nabi Adam hingga ke zaman Nabi Muhammad. Kemudian akan terus berkembang sampai sekarang dan sampai akhir zaman. Perintah kurban ini juga sudah diriwayatkan dan diabadikan di dalam Al Quran.
Nabi Muhammad pernah berkurban dua ekor kambing yang berwarna putih dengan tanduknya yang besar. Nabi Muhammad melaksanakan kurban ketika melaksanakan Haji Wada yang dilaksanakan di Mina.
Rasulullah berkurban 100 ekor unta lalu disembelih sekitar 63 ekor dengan menggunakan tangannya sendiri. Sisa unta yang lain disembelih oleh Ali Bin Abu Thalib dan keseluruhannya disembelih setelah usai shalat Idul Adha.
Kurban di zaman Nabi Muhammad menjadi sejarah kurban yang sempurna, dan terus dilakukan hingga saat ini oleh umat Islam di seluruh dunia.
Baca Juga : Sejarah Qurban dari Masa Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW
Berkurban Sebagai Bentuk Syukur
Hukum kurban bagi yang mampu dibagi menjadi dua jenis, menurut pendapat dari sejumlah ulama yang berlainan. Namun dibalik semua itu, pahami dahulu bahwa berkurban adalah bentuk atau bagian dari rasa syukur.
Ibadah kurban menjadi salah satu bukti cinta kepada Allah SWT. Seperti kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang berdasarkan kecintaanNya pada Allah. Anak yang selama puluhan tahun ditunggunya harus rela dikorbankan.
Ibadah kurban juga menjadi aplikasi cinta dari seorang hamba kepada Allah dan bukti ketakwaan pada Allah, atas semua nikmat yang telah diberikanNya. Semakin tinggi rasa yakin kita kepada Allah maka semakin ringan juga kita melakukan ibadah atau perintah dari Allah.
Semakin melimpah juga amal baik yang dilakukan karena keyakinan kita kepada Allah. Tapi jika keyakinan pada Allah berkurang maka sikap manusia akan pelit dan perhitungan atas apapun yang diperintahkan olehNya.
Kurban tidak sekadar penyembelihan hewan dan pembagian daging kurban untuk sesama saja. Tapi lebih dari itu, qurban juga sebuah dimensi sosial bagi para fakir miskin yang jarang merasakan kenikmatan daging kurban.
Baca Juga : Pengertian, Hukum dan Cara Melaksanakan Qurban Online
Hukum Kurban Menurut Para Ulama
Apa hukum kurban bagi umat Islam? Kurban merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul. Hukum kurban itu sendiri memiliki berbagai pendapat dari beberapa ulama.
Berikut ini dasar-dasar dari hukum ibadah kurban yang benar:
-
Hukum Wajib
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum dari ibadah kurban adalah wajib, yang memang harus dijalankan oleh seluruh umat muslim. Ulama dari Mahzab Hanafiyah yaitu Abu Hanifah beranggapan bahwa kurban adalah amalan wajib.
Kewajiban yang harus dilaksanakan setiap tahun untuk orang yang tinggal di suatu tempat atau tidak bepergian. Ibadah kurban juga banyak diwajibkan untuk orang yang bernazar atau membuat ketentuan, seperti misalnya pernyataan hewan sapi ini akan kujadikan kurban.
-
Hukum Makruh
Ada lagi hukum kurban Idul Adha menurut Jumhar Ulama bahwa hukum ibadah ini adalah makruh, untuk orang-orang yang dianggap mampu secara finansial tetapi tidak melaksanakan ibadah kurban.
-
Hukum Sunnah Muakad
Hukum kurban bisa menjadi wajib apabila sudah mampu secara finansial atau memiliki rezeki yang berlebih. Namun hukum Sunnah Muakad dari jumhur ulama yang meliputi Hambali, Imam Malik dan juga Syafi’I memandang bahwa kurban bukan wajib.
Artinya, kurban ini termasuk ke dalam sunnah muakad yang merupakan jenis sunnah yang apabila dilakukan sangat baik tetapi jika tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa.
Beberapa hukum dari berkurban tersebut bisa diyakini oleh siapa saja, dan dianggap sahih. Tapi yang paling penting adalah niat berkurban itu sendiri, wajib atau sunnah niatnya kurban hanya karena Allah dan untuk mengharap ridha Allah SWT.
Tebar Manfaat Kurban di Yatim Mandiri
Dari sejumlah hukum kurban yang dibahas di atas, bahwa pendapat ulama tersebut terbilang kuat. Namun yang paling banyak diyakini hingga saat ini adalah Sunnah Muakad, walaupun banyak juga orang yang lebih meyakini hukum wajib dan hukum makruh.
Tapi yang paling penting dari itu semua adalah, bagaimana menjalankan ibadah kurban dengan sepenuh hati dan dengan niat yang tulus karena Allah. Salah satu bentuk ibadah kurban yang benar dan sesuai dengan syariah Islam adalah, melakukan tebar manfaat kurban dengan Yatim Mandiri.
Program tebar manfaat di Yatim Mandiri yang bisa diikuti yaitu Penyaluran Super Gizi Kurban untuk Anak Yatim.
Salah satu program di Yatim Mandiri saat ini yang juga berkaitan dengan ibadah kurban adalah, penyaluran super gizi kurban untuk anak-anak yatim. Program ini menjadi cara pengoptimalan daging hewan kurban yang sudah disalurkan di Yatim Mandiri.
Hewan kurban yang disalurkan ini telah diolah menjadi makanan berupa kare dan juga sosis. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan distribusi hewan kurban sampai ke berbagai pelosok negeri.
Penyaluran paket gizi ini diharapkan dapat menjaga ketahanan pangan adik-adik yatim dan juga dhuafa di tengah masa pandemi.
Baca Juga : Syarat Qurban yang Wajib Dipenuhi
Hukum Kurban Dalam Islam dari Empat Mahzab Berbeda
Niatkan ibadah kurban hanya untuk bersyukur, bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Berikut ini hukum menyembelih hewan kurban dari 4 mahzab dalam Islam yang harus diketahui:
-
Mahzab Imam Hanafi
Mahzab Imam Hanafi adalah mahzab tertua dalam Islam tapi yang paling dikenal dengan ketentuan yang paling modern dan populer. Hukum kurban dari Mahzab Imam Hanafi ini adalah wajib berkurban untuk orang yang dianggap mampu dari segi materi.
Bagi orang yang memiliki harta berlebih tapi tidak melaksanakan ibadah kurban maka ia berdosa, karena dianggap telah meninggalkan ibadah wajib. Hal ini bisa dilihat di hadist yang sudah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan juga Imam Ahmad.
Hukum ibadah kurban menjadi wajib apabila seseorang yang mampu dari segi materi tapi tidak melaksanakannya. Tapi sebagian ulama yang juga berasal dari mahzab ini juga meyakini bahwa kurban hukumnya adalah sunnah muakad.
Sunnah muakad adalah jenis amalan sunnah yang akan menyempurnakan ibadah. Hukum lainnya menyebutkan juga bahwa, bagi para musafir yang sedang berada di perjalanan tidak dianjurkan untuk melakukan ibadah kurban.
Sedangkan untuk anak yang belum baligh hukumnya juga menjadi sunnah, dengan harta yang diambil dari milik orang tuanya.
-
Mahzab Imam Safi’i
Corak pemikiran mahzab Imam Safi’I adalah konvergensi, atau yang bisa disebut dengan pertemuan antara pemikiran tradisional dengan rasional.
Bagi mahzab ini, hukum kurban adalah wajib tapi dengan catatan untuk seseorang yang memiliki kelapangan harta dan mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Tapi jika harta yang dimilikinya tak bersisa setelah melakukan kurban maka tidak wajib baginya.
Hukum kurban dari mahzab ini juga yaitu Sunnah Muakad dan hanya perlu dilakukan sekali seumur hidup, dan tak perlu dilakukan setiap setahun sekali. Ada dua hukum cara melaksanakan kurban pada mahzab ini.
Hukum yang pertama adalah Sunnah ‘Ain yaitu sunnah yang dilakukan perorangan, untuk orang yang memang mampu berkurban.
Hukum kedua adalah Sunnah Kifayah yaitu kurban yang dilakukan oleh satu orang di dalam satu keluarga, artinya sudah mewakili keseluruhan anggota keluarga di dalamnya.
-
Mahzab Imam Maliki
Mahzab Imam Maliki didirikan oleh Imam Malik yang dikenal sebagai seorang periwayat hadist. Hukum yang ia buat juga berdasarkan sunnah nabi termasuk dalam hukum berkurban.
Hukum berkurban bagi Mahzab Imam Maliki akan berlaku jika seseorang dapat membeli hewan ternak, dengan menggunakan uang yang diperolehnya dalam jangka waktu 1 tahun. Hukum kurban ini sekilas hampir sama dengan yang ada di Mahzab hanafi.
Tapi perbedaannya ada pada cara membeli hewan yang akan dikurbankan, dalam Mahzab Imam Maliki cara pembelian hewan kurbannya bisa dengan berutang terlebih dulu. Hukum berkurban bagi mahzab ini sudah jelas adalah Sunnah Muakad.
Namun hukumnya akan menjadi makruh apabila orang yang sudah mampu dalam hal finansialnya, tapi masih belum berkurban. Makruh itu sendiri adalah hukum yang nilainya berupa pelarangan tapi jika tidak dilakukan tidak berdosa.
Hukum berkurban bagi musafir menurur mahzab ini adalah sunnah, yaitu sunnah dengan mengambil harta dari yang menjadi walinya.
-
Mahzab Imam Hambali
Mahzab yang satu ini juga dikenali dengan nama Hanabila, yang didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hambal dengan corak pemikiran yang cenderung tradisional. Hukum yang dibuat oleh mahzab ini adalah dari Al Quran, Ijtihad Ulama, dan dari sunnah.
Untuk sebuah kondisi yang sifatnya terpaksa Imam Hambali akan menggunakan hadis qiyas dan mursal. Imam Hambali juga berpendapat bahwa seseorang dapat mengupayakan dirinya dalam membeli hewan kurban, meskipun dengan berutang.
Maka ia akan dianjurkan untuk melaksanakan ibadah kurban. Hukum kurban dari Mahzab Imam Hambali adalah wajib bagi yang mampu, tapi jika tidak ditunaikan maka hukumnya menjadi sunnah.
Untuk orang-orang musafir disunnahkan menjalankan ibadah kurban, tapi untuk anak yang belum baligh maka tidak disunnahkan.
Meskpun ada perbedaan sekaligus persamaan dari ke-4 mahzab tersebut, tetapi seluruh ulama sudah sepakat bahwa jika muslim yang pernah bernazar akan berkurban harus melaksanakan ibadah kurban tersebut.
Sedangkan jika nazarnya tidak dipenuhi maka orang tersebut mendapat dosa. Muslim yang mampu secara harta seharusnya tidak meninggalkan kewajiban dalam pelaksanaan ibadah kurban.
Kurban dapat mendekatkan diri pada Allah SWT dan juga merupakan sebuah pengalaman spiritual dalam mengingat sejarah kurban dari Nabi Ibrahim. Ketika Nabi Ibrahim rela mengurbankan anaknya demi ketaatannya kepada Allah.
Hukum Kurban Atas Nama Almarhum
Hukum kurban untuk orang yang masih hidup sudah dibahas lengkap di atas, kini saatnya kita membahas hukum kurban bagi orang yang telah meninggal. Hal ini biasanya dilakukan oleh keluarga yang masih ada, dengan berkurban atas nama almarhum.
Semasa hidupnya orang yang sudah meninggal tersebut memang belum pernah berkurban, sehingga disedekahkan pahala untuk keluarganya yang masih hidup dengan cara berkurban. Namun hukum berkurban bagi orang yang telah meninggal sebenarnya tidak ada.
Kecuali selagi masih hidup ia sudah berwasiat ingin berkurban pada keluarganya. Namun dalam hal ini ada juga pandangan ulama lainnya tentang kebolehan berkurban bagi orang yang sudah tiada.
Sedekah untuk orang yang telah pergi selamanya dianggap sah, sehingga saat berkurban dengan niat mensedekahkan orang yang sudah meninggal pun dianggap sah.
Menurut Mahzab Syafi’I pandangan yang pertama dianggap sahih, sedangkan pandangan yang lainnya dianggap sahih oleh Mahzab Hambali, Hanafi, dan juga Maliki.
Terlepas dari banyaknya pandangan dari para ulama mengenai berkurban untuk orang yang meninggal, kurban itu sendiri sebenarnya tidak salah. Namun ada baiknya berkurban untuk diri sendiri terlebih dulu, meskipun sudah dilakukan lebih dari satu kali.
Banyaknya hukum kurban menurut pandangan ulama, seharusnya tidak menggoyahkan keimanan kepada Allah. Jalankan saja ibadah kurban sebagai perintah Allah, sebagai bukti bahwa hal itu adalah bentuk rasa syukur kepadaNya.