Konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas, memasuki babak baru yang penuh ketegangan. Pada Sabtu (7/10/2023), kelompok Hamas yang menguasai Gaza melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Israel. Para ahli menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai tantangan yang kompleks, sulit diselesaikan, bahkan hingga saat ini.
Ketegangan yang memuncak kembali ini mengundang keprihatinan dunia internasional.Kondisi ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan perburukan keadaan di kawasan tersebut. Namun, setidaknya, terdapat beberapa peristiwa sejarah penting yang menjadi fondasi perampokan tanah Palestina oleh Zionis Israel. Hal ini penting untuk dipelajari dan dipahami oleh Umat Islam agar dapat mengambil pelajaran dan bersatu padu menentang tentang segala bentuk penjajahan bagi manusia, termasuk di tanah Palestina.
Lebih dari 100 tahun yang lalu, tepatnya pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, mengirim surat kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat singkat berisi 67 kata ini memberikan dampak besar terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini, dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Surat ini mengikat pemerintah Inggris untuk mendirikan rumah nasional bagi orang Yahudi di Palestina dan memfasilitasi pencapaian tujuan ini. Pada intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di wilayah yang 90% penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina.
Mandat Inggris kemudian dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung hingga 1948. Selama periode ini, Inggris memfasilitasi migrasi massal orang Yahudi, terutama pasca gerakan Nazi di Eropa, yang dihadapi dengan perlawanan dari warga Palestina. Mereka khawatir dengan perubahan demografi negara dan penyitaan tanah mereka untuk pemukim Yahudi.
Migrasi besar ini menimbulkan ketegangan yang memicu Pemberontakan Arab pada 1936-1939. Warga Palestina memprotes kolonialisme Inggris dan imigrasi Yahudi melalui pemogokan umum, penahanan pembayaran pajak, dan boikot produk-produk Yahudi. Namun, pemogokan ini ditindas brutal oleh Inggris.
Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937, dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme. Inggris memberlakukan kebijakan represif, dengan desa-desa dibom, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan serta pembunuhan massal tersebar luas.
Selama pemberontakan ini, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi, membentuk kelompok bersenjata dan pasukan kontra pemberontakan. Akibatnya, ribuan warga Palestina tewas dan puluhan ribu terluka serta dipenjarakan.
Pada tahun 1947, populasi Yahudi di Palestina meningkat menjadi 33% meskipun hanya memiliki 6% lahan. Situasi ini menjadi latar belakang penting untuk keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mencari solusi atas konflik di Palestina.
Pada saat itu, PBB mengadopsi Resolusi 181, yang dikenal sebagai “Rencana Pembagian Palestina.” Resolusi ini mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara: satu untuk penduduk Arab dan satu untuk penduduk Yahudi.
Namun, rencana ini menimbulkan kontroversi dan penolakan dari pihak Palestina. Salah satu alasan utama penolakan adalah porsi wilayah yang diusulkan untuk negara Yahudi, yaitu sekitar 56% wilayah Palestina, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur. Pada saat itu, warga Palestina menguasai 94% wilayah bersejarah Palestina dan mencakup 67% dari seluruh populasi.
Keputusan ini memunculkan pertentangan serius antara kedua belah pihak, memperumit situasi politik dan meningkatkan tensi di kawasan tersebut. Penolakan Palestina terhadap rencana pembagian tersebut juga menjadi salah satu faktor yang memicu konflik berskala besar pada tahun 1948, yang dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Israel atau Nakba (bencana dalam bahasa Arab).
Periode menjelang berakhirnya Mandat Kekuasaan Inggris pada 14 Mei 1948 disertai dengan tindakan paramiliter Israel yang memulai operasi militer untuk menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina dengan tujuan memperluas perbatasan negara Israel yang akan segera didirikan.
Pada April 1948, sebuah tragedi mengerikan terjadi di desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem, dimana lebih dari 100 pria, wanita, dan anak-anak Palestina tewas dalam serangan. Kejadian ini menandai dimulainya serangkaian operasi serupa. Antara tahun 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, baik kecil maupun besar, di Palestina dihancurkan dalam peristiwa yang oleh orang Palestina disebut sebagai Nakba, atau “bencana” dalam bahasa Arab.
Estimasi menyebutkan bahwa sekitar 15.000 warga Palestina tewas, termasuk dalam puluhan pembantaian. Selain itu, Gerakan Zionis berhasil menguasai 78% wilayah bersejarah Palestina, sedangkan sisanya, sekitar 22%, dibagi menjadi wilayah yang kini menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.
Lebih dari 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, dan keturunan mereka saat ini hidup sebagai pengungsi. Sekitar 6 juta pengungsi Palestina tersebar di 58 kamp pengungsi di seluruh Palestina dan negara-negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir.
Tanggal 15 Mei 1948, Israel mengumumkan pendiriannya sebagai negara merdeka. Keesokan harinya, perang Arab-Israel pertama dimulai, dan pertempuran ini berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah.
Intifada, gelombang perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel, mencapai puncaknya pada tahun 1993 dengan penandatanganan Perjanjian Oslo. Perjanjian ini membuka jalan bagi pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah entitas pemerintahan sementara yang diberi otoritas terbatas atas wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Dalam konteks ini, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) secara resmi mengakui Israel dan mendukung solusi dua negara. Perjanjian ini, bagaimanapun, menimbulkan kontroversi karena memberikan Israel kendali atas 60% wilayah Tepi Barat serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.
PA, seharusnya, membuka jalan menuju pembentukan pemerintahan Palestina terpilih pertama yang akan menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Namun, implementasi penuh dari Perjanjian Oslo tidak pernah terlaksana sepenuhnya.
Tantangan besar yang dihadapi Otoritas Palestina adalah pandangan kritis yang memandangnya sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan Israel. Beberapa kritikus menuduh bahwa PA bekerja erat dengan militer Israel dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik di wilayah Palestina yang terpecah.
Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, membatasi interaksi antara wilayah Palestina yang terpisah dan meningkatkan kontrol terhadap pendudukan. Tindakan ini memperumit upaya perdamaian dan mempertajam kesenjangan antara dua pihak yang terlibat.
Selama beberapa tahun terakhir, Jalur Gaza telah menjadi saksi dari serangkaian serangan militer yang dilancarkan oleh Israel. Serangkaian serangan ini, terjadi pada tahun 2008, 2012, 2014, dan 2021, telah mengakibatkan ribuan warga Palestina tewas, termasuk banyak anak-anak, dan merusak puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran.
Pembangunan kembali wilayah ini hampir mustahil dilakukan dengan lancar karena blokade yang diberlakukan, yang mencegah pasokan material konstruksi vital seperti baja dan semen mencapai Gaza. Keadaan ini memperburuk penderitaan warga Palestina yang sudah sulit akibat konflik berkepanjangan.
Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor. Penggunaan senjata terlarang semacam itu menimbulkan kekhawatiran serius terhadap perlindungan dan keamanan warga sipil di Gaza.
Pada tahun 2014, dalam kurun waktu 50 hari, serangan Israel yang intensif mengakibatkan lebih dari 2.100 warga Palestina tewas, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Akibat serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina mengalami luka-luka, 20.000 rumah hancur, dan setengah juta orang terpaksa mengungsi, menghadapi krisis kemanusiaan yang mendalam.